Sebagian orang berpendapat bahwa bagi penyair menulis atau menciptakan sebuah sajak sama dengan membangun citra (images)
lewat bahasa yang menjadi pilihannya. Melalui satuan-satuan bahasa,
kata, frasa, atau unsur lingual lainnya, penyair mencoba mengukuhkan
pengalaman empirik indrawinya yang kemudian dikomunikasikan kepada para
pembaca. Dalam hal ini, antara penyair yang satu dengan yang lain akan
memiliki derajat yang tidak sama, baik dalam hal menggunakan sumber itu
maupun dalam hal pendayagunaan dalam sajak.
Puisi-puisi Ria AS
menggambarkan berbagai peristiwa, baik peristiwa batin atau peristiwa
dahir, peristiwa batin yang saya maksud adalah percintaan, perenungan,
releguitas, pergolakan hati dan pemikirannya. Sedangkan peristiwa dahir ,
seperti ketimpangan sosial dan ketidakadilan lainnya.
Antologi
puisi yang berjudul “Ada Hujan Turun Pelan-Pelan” ini adalah rekaman
peristiwa yang baik oleh Ria AS. Dari judulnya, kita bisa melihat
rekaman kompleksitas peristiwa kehidupannya yang ia citrakan lewat
hujan. Ria AS banyak mengambil sumber inpirasi puisinya dari derai
-derai hujan yang mengecupnya. Hujan ia anggap sebagai peristiwa yang
tidak biasa : sebuah kenangan, cinta, penjelmaan, takdir, nafas, detak,
aroma, petaka, dan reinkarnasi.
“Hujan” pelepasan kerinduan dan
kasih sayang, kerinduan langit pada bumi dipertemukan lewat hujan. Bumi
yang kering, tandus, dan bahkan mengeras membatu, selalu meronta-ronta
ingin bertemu melepas rindu dengan belahan jiwanya. Hujan pun diturunkan
oleh Allah sebagai obat rindu. Bumi pun kemudian hamil dan mengeluarkan
berbagai macam kehidupan. Bahkan pertemuan itu, bukan saja memberikan
kenikmatan kepada tanah. Bumi pun menyajikan keberkahan kehidupan yang
luar biasa. Hamparan padang luas savana dan kesuburan tanah menjadi
sarana kehidupan bagi makluk hidup lainnya (taufiq). Dulu bumi dan langit pernah bersatu, setelah keduanya berpisah pun dipertemukan dengan tetesan hujan itu.
Ria
AS sangat menikmati sekali dengan kata hujan ini, dalam beberapa judul
puisinya : Air Hujan, Dongeng Hujan, Hujan dan Pelangi, Hujan Tanpa
Payung, Musim Penghujan, Tanpa Hujan, tentang Hujan Kita bisa menikmati imagery dan atmosphere Ria AS.
Ria
AS mengungkapkan sensorisnya ke dalam kata hingga terjelma gambaran
suasana yang konkrit. Ungkapan itu menyebabkan pembaca seolah-olah
melihat suasana, mendengar sesuatu atau turut merasakan, ini kekuatan imagery
Ria AS dalam antologi ini. Seperti dalam dongeng Hujan yang ia jadikan
Judul Antologi /dari kotak langit/ada hujan turun pelan-pelan/menjelma
udara/menjelma cinta/menjelma kita/.
Setelah “Hujan” ia mengiringi
kata-kata “Turun Pelan-Pelan”, sungguh saya menikmati kata-kata ini, ia
gambarkan hujan itu tidak egois, tidak membawa petaka, tidak memberikan
duka, tapi ia selalu memberikan rahmat, tinggal bagaiamana kita
menikmati turunnya hujan itu, walau kadang deras tapi ia seperti sedang
melambai, melambaikan hati untuk merengkuh kesejukannya. Kata
“pelan-pelan” bukan juga kemalasan, keterlambatan dan kemunduran, tapi
ia berusaha untuk menata turunnya hujan ke tempat mana saja yang sedang
membutuhkan. Seperti puisinya yang berjudul “Doa Air Hujan” /kita ada
pada hujan/ada pada sisa tetes air yang meresap lambat/ke dalam tanah
berumput/ada pada tanah air yang mengalir/ada pada aliran sungai laut
utara.....dan baris terakhir /lalu kita kembali menjadi hujan/semoga
kita juga ada pada salah satu takdir Tuhan. Walau pemilihan diksinya
sederhana tapi Ria AS mampu memberikan amanah (message) yang jelas dan konkrit. Ia sangat baik dalam membangun subjec matter-nya.
Dan kelebihan Ria AS di sisi ini. Walau beberapa kritikus puisi
menganggap, semakin pelik dan kronik sebuah puisi, dan semakin tidak
jelas, maka puisi itu semakin baik. Tetapi menurut saya, peliknya bukan
pada ketidakjelasan message, karena setiap kata yang diungkap penyair, menimbulkan seribu interpretasi, dan juga memeberikan message
yang berbeda, dari puisi yang sederhana sampai puisi yang mendunia.
Maka ukuran baik dan tidaknya bisa kita lihat dari struktur luar dan
struktur dalamnya. Walau pun di sana masih terdapat pandangan yang
berbeda.
****
Puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran dan khayal. Meskipun selalu tampak keanehan-keanehan dan penyimpangan (distorting)
dari bahasa yang lazim dipergunakan, namun dengan keanehan itulah,
puisi dapat membebaskan dirinya dari keakraban dan kungkungan, sehingga
ia mampu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Kelahirannya membuat
rongsokan baru, suasana baru, penciptaan baru (creating) pencerahan, dan
revolusi pikiran, batin dan diri. Dalam puisi Pudar, Ria AS mampu
mengulah kata menjadi sebuah realitas baru/ijinkan aku berteduh/atas
kebeningan matamu/biar aku memudar/dalam semediku/dan melafadzkan
bahasamu/dialiran nafas sendumu/ Seperti juga yang terdapat dalam dua
puisi lainnya : Hanya ada satu malam, Reinkarnasi dan Pertemuan.
****
Puisi
Ria AS mengandung rima yang cukup indah, ia mengolah kata bukan hanya
memberikan amanah, tapi ia mampu memberikan musik-musik dalam setiap
barisnya, seperti puisi yang berjudul “Mimpi Kalimati, Lagu Kampung
Cemara, Kesepian Nyata, Buta”, ada keserasian dalam kalimat, membacanya
seperti mendendangkan lagu, tapi ia tidak tenggelam dengan pemujaan
ritme, ia memberikan kandungan kata-kata demikian baik, sehingga
kata-kata itu terbungkus rapi. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya,
manusia, agung dengan pikiran dan perasaannya. Tapi, puisi menjadi
hambar dan tak pernah punya taring, jika ia hanya mengungkapkan dengan
kata-kata klise, berbunga-bunga, namun tak ada rasa yang kuat dalam
setiap kata, puisi menjadi. Hampa! Puisi “Bulan Penuh” dan “Rindu-Rindu
Yang berjatuhan” mungkin menjadi contoh bagaimana WMA mempermainkan
perasaannya dengan untaian kata indah.
*) temui di
http://www.facebook.com/l/8AQEsNsmgAQHHVphKW4r0P32OjiQ6Mv0toZZFxwM3vqIIYQ/ www.halimizuhdy.blogspot.com/ silahkan bergabung di Toriqot Sastra (grup Fb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar